PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) BERDASARKAN PENGARUH SUHU DAN KLOROFIL-a DI PERAIRAN JOMBLANG LHOKSEUMAWE
Disusun Oleh :
Nama : Dodi Fan halen SiregarNim : 170340028Kelas : IK 6 ATask : Proposal Penelitian
PRODI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH2020
1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan sektor yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan saat ini. Salah satu upaya pemerintah untuk mendistribusikan pangan dari sektor perikanan tersebut yaitu mendirikan pangkalan pendaratan ikan. Sebuah pangkalan pendaratan ikan yang dinamakan pangkalan pendaratan ikan Pusong Lhokseumawe disingkat PPI Pusong telah didirikan dikota lhokseumawe.
Pangkalan Penagkapan Ikan (PPI) terletak di muara yang berada di Ujung Pantai Desa Pusong Lama. Lokasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Pusong berseberangan dengan (Waduk), berada tidak terlalu jauh (± 1 km) dari areal pemukiman penduduk yang masuk dalam wilayah desa Kandang dan juga hanya berjarak (± 500 m) dari areal pemukiman yang masuk wilayah Desa Pusong Lama.
Ikan Cakalang adalah ikan pelagis yang merupakan perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varancious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo, yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat kearah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Morfologi ikan sangat berhubungan dengan habitat ikan tersebut di perairan saat dan pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar ikan yang merupakan ciri-ciri yang mudah dilihat, diingat dalam mempelajari dan mengidentifikasi ikan.
Kenyataan yang terjadi di lapangan bahwa para nelayan masih belum optimal dalam melakukan operasi penangkapan ikan tersebut. Pola kehidupan ikan tidak dapat dipisahkan dari parameter oseanografi yang meliputi suhu, salinitas, arus, dan kandungan klorofil. Parameter oseanografi yang dikaji dalam penelitian ini terdiri dari suhu permukaan laut dan klorofil, karena kedua parameter ini dapat dijadikan pedoman dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial.
Pengukuran suhu dan klorofil dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (in-situ) dan tidak langsung melalui teknologi penginderaan jauh (eks-situ). Pengamatan terhadap perairan Indonesia yang luas lebih efektif dan efisien
dilakukan secara eks-situ karena pengamatan in-situ akan membutuhkan biaya yang sangat tinggi, waktu yang lama, dan energi yang cukup banyak.
Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian mengenai pengaruh suhu dan klorofil dalam menentukan daerah penangkapan ikan dengan sistem penginderaan jauh yaitu menggunakan data satelit. Data tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih representatif mengenai penyebaran suhu permukaan laut dan klorofil di perairan Jomblang Lhokseumawe.
1.2 Identifikasi Masalah
Permasalahan yang tengah dialami oleh masyarakat yang mayoritas berpropesi sebagai neleyan di lhokseumawe terkhususnya di daerah jomblang adalah sulitnya dalam menentukan daerah pengkapan ikan yang potensial terkhususnya ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), dimana hingga saat ini mereka hanya menggunakan cara tradisional dalam mencari daerah penangkapan ikan (misalnya dengan insting berburu serta berita dari mulut ke mulut untuk mengetahui informasi daerah penangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Di sisi lainnya, nelayan di jomblang juga belum memahami adanya keterkaitan antara tingkah laku ikan dengan penyebaran suhu maupun klorofil-a di perairan Jomblang sangat perlu dilakukan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu dan mengetahui konsentrasi klorofil-a di perairan Jomblang lhokseumawe. Hasil analisis suhu dan klorofil-a tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan Cakalang.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1) Membantu nelayan dalam menentukan daerah penangkapan ikan Cakalang yang potensial
2) Menambah khasanah keilmuan dalam bidang daerah penangkapan ikan dan
3) Menjadi rujukan bagi penelitian sejenis di bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan.
1.5 Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
H0 : Hasil tangkapan Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) semakin menurun dengan tingginya konsentrasi suhu dan klorofil-a di perairan Jomblang Lhokseumawe.
H1 : Hasil tangkapan ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) semakin tinggi dengan tingginya konsentrasi suhu dan klorofil-a di perairan Jomblang lhokseumawe.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan morfologi ikan Cakalang
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) :
Phylum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Perciformes
Sub Ordo : Scombroidea
Famili : Scombroidae
Sub Famili: Thunninae
Genus : Katsuwonus
Species : Katsuwonus pelamis
Gambar 1: Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis).
Sumber : (https://images.app.goo.gl/W8c1uvbiqW9jgu816)
Ikan cakalang memiliki tubuh yang membulat atau memanjang dan garis lateral. Ciri khas dari ikan cakalang memiliki 4-6 garis berwarna hitam yang memanjang di samping bagian tubuh. Ikan cakalang pada umumnya mempunyai berat sekitar 0,5 – 11,5 kg serta panjang sekitar 30-80 cm. Ikan cakalang mempunyai ciri-ciri khusus yaitu tubuhnya mempunyai bentuk menyerupai torpedo (fusiform), bulat dan memanjang, serta mempunyai gill rakers (tapis insang) sekitar 53-63 buah.
Ikan cakalang memiliki dua sirip punggung yang letaknya terpisah. Sirip punggung pertama terdapat 14-16 jari-jari keras, pada sirip punggung perut diikuti oleh 7-9 finlet. Terdapat sebuah rigi-rigi (keel) yang sangat kuat diantara dua rigi-rigi yang lebih kecil pada masing-masing sisi dan sirip ekor (Matsumoto et al 1984).
2.2 Suhu Permukaan laut (SPL)
Salah satu parameter oseonologi yang mencirikan massa air di lautan ialah suhunya. Di lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh bayak faktor, diantaranya ialah jumlah bahan yang diterima oleh masing-masing tempat, arus-arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub dan pengaruh meteorologi seperti angin, Penguapan, hujan, dan lain-lain. Di daerah tropis pada hakekatnya terdapat amplitudo suhu permukaan yang kecil. Karena itu perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di daerah-daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (illahude 1998).
Penyebaran suhu secara vertikal menunjukkan adanya lapisan yang terdiri dari lapisan homogen, lapisan termoklin, lapisan jeluk (deep layer) dan lapisan dasar. Pada lapisan homogen suhu air pada umumnya sama mulai dari permukaan hinga kedalaman 100 meter. Besarnya perbedaan suhu pada lapisan homogen ini tidak tentu, tetapi biasanya tidak lebih dari 0.02 - 0.10 C (Stewart 2002). Keadaan yang homogen ini dicapai karena adanya pengaruh kegiatan angin, gelombang dan turbulensi yang mengaduk massa air di lapisan ini sehingga suhunya menjadi homogen di mana-mana.
Suhu air permukaan di perairan nusantara umumnya berkisar antara 28-31 0C (Nontji 1993). Perubahan musiman SPL di indonesia biasanya tidak lebih dari 30C. Suhu tertinggi 300C umumnya terjadi pada bulan April- Mei sedangkan suhu paling rendah 270C pada bulan Desember – Januari. SPL kira-kira setara dengan suhu udara rata-rata pada permukaan laut. Suhu permukaan air dipengaruhi pula oleh angin musiman san pla curah hujan (wyrtki 1960). Suhu di dekat pantai biasanya lebih tinggi dari pada di lepas pantai. Di goba (lagoon) yang dangkal dapat dijumpai suhu yang panas di siang hari, kadang-kadang dapat mencapai 350C (Nontji 1993).
Analisis sinoptik terhadap SPL merupakan faktor penting dalam oseonografi. SPL bukan hanya penting untuk analis keberadaan dan tingkah laku ikan tetapi juga secara tidak langsung mengindikasikan bebereapa proses lain di lautan seperti pencampuran, arus, perbatasan arus, upwelling, dan lain sebagainya yang keseluruhan dapat mempengerahui keberadaan sumberdaya ikan (Laevestu dan Helu 1970)
2.3 Klorofil-a
Di antara za-zat yang terlarut di dalam air laut, terdapat sekitar 0,01% garam-garam anorganik itu termasuk fosfat dan nitrat yang dibutuhkan untuk sintesis zat organik. Perbandingan nitrat dan fosfat ini dengan unsur atau ion-ion lain tidak konstan dan memiliki kecenderungan kurang tersedia di air permukaann. Persediaan nutrien esensial ini dapat menjadi faktor pembatas bagi produktivitas fitoplankton (Nybakken 1998).
Fitoplankton sebagai produsen primer pada lapisan pelagis yang mengubah materi anorganik menjadi komponen-komponen organik seperti lemak dan protein melalui proses fotosintesis dan selanjutnya mengawali rantai makanan (Lalli & Parson 1995).
Konversi energi radiasi menjadi energi kimia tergantung pada pigmen fotosintesis yang didominasi oleh klorofil-a. Jumlah radiasi matahari sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis. Fotosintesis meningkatkan sejalan dengan peningkatan intensitas cahaya sampai pada nilai maksimum tertentu (Pmax). Pada intensitas cahaya yang lebih tinggi dari Pmax, dapat terjadi penurunan fotosintesis yang signifikan yang disebabkan oleh jumlah reaksi fisiologi di antaranya penyusutan chloroplast (Lalli & Parsons 1953).
Ikan Cakalang merupakan ikan pelagis yang merupakan perenang cepat (good swimmer) dan mempunyai sifat rakus (varancious). Ikan ini melakukan migrasi jarak jauh dan hidup bergerombol dalam ukuran besar. Bentuk tubuhnya digolongkan dalam bentuk torpedo, yaitu badan fusiform, bagian kepala sangat tebal, ramping dan kuat kearah ekor dan sedikit pipih pada bagian samping. Morfologi ikan sangat berhubungan dengan habitat ikan tersebut di perairan saat dan pengenalan struktur ikan tidak terlepas dari morfologi ikan yaitu bentuk luar ikan yang merupakan ciri-ciri yang mudah dilihat.
Pigmen fotosintesis pada fitoplankton biasanya terdiri dari klorofil-a, b, c, d serta pigmen-pigmen lainnya seperti karoten, xantofil, dan pikobilin. Seluruh pigmen tersebut menyerap cahaya pada kisaran panjang gelombang sekitar 400-700 nm, tetapi tiap pigmen memperlihatkan spektrum serapan yang berbeda-beda. Dari keseluruhan pigmen fotosintesis , yang paling umun terdapat adalah pigmen klorofil-a. Absorbsi maksimum klorifl-a terhadap radiasi matahari terjadi pada spektrum merah (650-700 nm) dan biru-violet (450 nm) (Lalli & Parsons 1995).
2.4 Pendeteksi SPL dan Klorofil-a
Suhu merupakan salah satu karakterisktik oceonografi yang paling mudah diukur secara akurat (Emercy 1997). Saat ini salah satu instrument yang paling banyak digunakan untuk mengukur struktur termal pada lapisan permukaan laut adalah Expandable Bathytermographs (XBT). XBT adalah sebuah peralatan elektronik yang mengukur suhu menurut kedalaman dengan menggunakan sebuah termistor pada pemberat yang dijatuhkan secara bebas (Stewart 2002).
Prinsip kerja sensor XBT adalah berdasarkan perubahan tahanan listrik logam atau material lainnya terhadap perubahan suhu (Emercy 1997). Berbagai jenis material semikonduktor yang digunakan untuk pengukuran oseonografis ini biasanya disebut termistor. Termistor pada XBT dihubungkan pada Ohm-meter di kapal melalui kabel tembaga yang sangat tipis (Stewart 2002).
Metode lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi SPL adalah dengan menggunakan pengindraan Jauh. Estimasi SPL dalam pengindraan jauh dilakukan berdasarkan informasi yang di peroleh satelit melalui sensor inframerah (Emery 1997). Saat ini salah satu sistem sensor satelit yang menjadi standar pengukuran SPL adalah sensor AVHRR (Advanced very high resolution radiometer) yang dibawah oleh satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration). NOAA meluncurkan satelit yang membawa sensor AVHRR sejak tahun 1978 dengansatelit yang beroperasi pada waktu-waktu tertentu yaitu satu pada pagi hari jam 02.30 dan sore hari jam 14.30, sedangkan yang lain beroperasi pada jam 06.30 pagi dan 18.30 sore hari. Kedua satelit berorbit polar ini mengumpulkan data hampir pada seluruh permukaan bumi.
Sensor AVHRR mendeteksi radiasi spektrum elegtromagnetik dalam kisaran cahaya tampak, infra merah menengah dan infra merah termal dengan lebar spam 3000 km.
2.5 kondisi oceonografi di perairan Jomblang Lhokseumawe
Perairan Jomblang Lhokseumawe (selat malaka) merupakan daerah tangkapan ikan yang subur dengan hasil laut yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini berhubungan dengan kehadiran komunitas plankton pada perairan tersebut baik fitoplankton maupun zooplankton. Kehadiran komunitas fitoplankton di Perairan Selat Malaka, Lhokseumawe menentukan kehadiran zooplankton, planktivorous fish dan piscivorous fish. Fitoplankton memiliki beberapa faktor pembatas yaitu nutrien, suhu, salinitas, angin, curah hujan, cahaya dan kekeruhan (Tan et al. 2006; Rezai et al. 2010; Armbrecht et al. 2014; Liu et al. 2015; Nybaken 2001).
Ekologi di perairan Lhokseumawe (Selat Malaka) dipengaruhi dua pergerakan angin yaitu Monsoon Timur Laut (northeast monsoon) yang membawa hujan pada bulan November hingga Maret dan Monsoon Barat Daya (southwest monsoon) berupa musim kemarau pada bulan Mei hingga September.
Suhu permukaan laut di perairan Lhokseumawe berkisar antara 27°C, 28°C dan 29°C. Suhu tertinggi terjadi pada musim peralihan Barat-Timur yaitu bulan Februari dengan rata-rata 29°C. Suhu terendah terjadi pada Musim Barat, yaitu pada bulan Maret dengan suhu rata-rata 28°C. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan suhu di perairan menjadi lebih rendah. Variasi tersebut dipengaruhi oleh musim. Secara umum apabila kedalaman semakin kecil maka temperatur air laut pada saat siang hari akan semakin besar, karena adanya pengaruh penetrasi cahaya matahari. Meskipun demikian karena adanya mekanisme naik turunnya air laut oleh karena pasang surut maka temperatur perairan akan berkisar pada temperatur normal pada umumnya (DKP, 2006)
3.METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2020 di perairan Jomblang Lhokseumawe, khususnya di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang berada di Desa Pusong, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Secara geografis lokasi penelitian ini berada pada 97,03333°BT dan 5,11667°LU. Untuk lokasi penelitian disajikan pada gambar 1.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1) Perangkat komputer yang dilengkapi dengan software Microsoft Excel 2010 dan aplikasi SeaDAS versi 6.4 pada Mac OS X 10.8 digunakan untuk menghitung analisis korelasi, menentukan suhu permukaan laut dan klorofil pada tiap titik.
2) Aplikasi ArcView GIS versi 3.3 untuk membuat peta sebaran ikan cakalang.
3) Kuisioner untuk mempermudah memperoleh data primer, dan peta perairan pangkalan pendaratan ikan di jomblang lhokseumawe.
4) Kamera digunakan untuk dokumentasi penelitian
5) Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil wawancara nelayan serta data hasil tangkapan
6) Aplikasi Golden Software Surfer versi 10 untuk meperoleh peta sebaran suhu permukaan laut dan klorofil serta garis konturnya; dan
Gambar Peta Lokasi Penelitian
Sumber (https://images.app.goo.gl/dswUXMJBSMyvzMXk7)
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari data posisi daerah penangkapan ikan yang diperoleh dengan cara memberikan tanda pada peta wilayah perairan Jomblang Lhokseumawe. Selanjutnya adalah waktu penangkapan diperoleh dari wawancara bersama nelayan, ukuran kapal diperoleh dari wawancara dengan ketua Nelayan di desa Pusong Lhokseumawe (Panglima Laot). Sampel nelayan ditentukan secara purposive sampling (secara sengaja) dengan pertimbangan bahwa responden mampu berkomunikasi dengan baik dalam wawancara, selanjutnya sampel dipilih berdasarkan nelayan yang melakukan operasi penangkapan di lokasi penelitian dengan alat tangkap yaitu nelayan di Pangkalan Pendaratan Ikan . Data sekunder terdiri dari data satelit yaitu suhu permukaan laut (SPL) dan klorofil-a pada bulan Januari tahun 2010 sampai bulan Desember tahun 2013. Data ini diperoleh dari website http://oceancolor.gsfc.nasa.gov pada bagian Data Access Level 3 Browser. Data tersebut kemudian diolah menggunakan aplikasi SeaDAS.
3.4 Analisis Data
3.4.1 Suhu Permukaan Laut Dan Klorofil-a
Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a Analisis suhu permukaan laut dan klorofil-a merupakan proses pengolahan data suhu permukaan laut dan klorofil dengan menggunakan aplikasi SeaDAS. Data suhu permukaan laut dan klorofil diperoleh dengan mengunduh dari situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data tersebut selanjutnya diolah untuk memperoleh nilai dan gambaran sebaran suhu permukaan laut dan klorofil di perairan Jomblang Lhokseumawe.
Proses awal yang dilakukan adalah mengunduh data level 3 composite data bulanan dengan resolusi spasial 9 km. Data yang dipilih dengan format HDF (Hierarchical Data Format) merupakan data yang tampilannya sudah datar (flat). Data hasil unduhan diekstrak terlebih dahulu sehingga data tersebut dapat diolah lebih lanjut.
Langkah pertama adalah croping atau pemotongan citra melalui program display yang terdapat pada menu aplikasi SeaDAS. Tahap croping dilakukan pada lokasi penelitian yaitu di perairan Jomblang Lhokseumawe. Pengaturan untuk ukuran pixel and line sample rate dirubah menjadi 1. Setelah itu load data suhu permukaan laut yang sudah dipotong. Terdapat tiga output dari hasil pengolahan aplikasi SeaDAS yaitu output gambar dengan ekstensi PNG (*.PNG), ASCII, dan binary. Pengolahan data menggunakan aplikasi SeaDAS yang dipilih adalah output ekstensi ASCII. Output dalam bentuk ASCII tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui sebaran suhu permukaan laut yang ada pada lokasi penelitian.
Penentuan nilai suhu permukaan laut dan klorofil diperoleh dari data ASCII hasil pengolahan aplikasi SeaDAS. Selanjutnya, data tersebut diproses di aplikasi Microsoft Excel 2010. Data tersebut diimpor dan disimpan ulang dalam ekstensi xls (*.xls) ataupun dalam ekstensi yang lain untuk mempermudah pada proses selanjutnya.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan peta sebaran suhu permukaan laut dan klorofil. Tahap ini membutuhkan data yang diperoleh dari hasil pengolahan aplikasi Microsoft Excel 2010. Data tersebut diolah menggunakan aplikasi surfer versi 10 untuk memperoleh peta sebaran suhu permukaan laut dan klorofil serta garis konturnya. Nilai dominan dari suhu permukaan laut dan klorofil pada daerah penelitian disajikan dalam bentuk grafik. Selanjutnya, dianalisis sebarannya menurut waktu operasi penangkapan. Di samping itu pada analisis ini juga dilihat pergerakan suhu permukaan laut dan klorofil secara spasial dengan melihat sebaran harian dari suhu permukaan laut dan klorofil tersebut pada perairan Jomblang Lhokseumawe.
3.4.2 Daerah penangkapan Ikan Cakalang
Analisi deskripsi merupakan penjabaran mengenai peta daerah penangkapan ikan Cakalang yang telah disusun berdasarkan overlay dari data suhu dan klorofil-a serta jumlah hasil tangkapan ikan layur. Peta daerah penangkapan ikan tersebut mencantumkan beberapa tanda pada daerah-daerah yang diduga sebagai daerah penangkapan ikan Cakalang. Daerah penangkapan ikan Cakalang tersebut dibagi dua klasifikasi yaitu DPI potensial dan DPI tidak potensial. Indikator yang digunakan untuk menentukan DPI potensial dan DPI tidak potensial adalah jumlah hasil tangkapan, suhu, dan klorofil.
1. Jumlah hasil tangkapan
Jika jumlah hasil tangkapan ikan Cakalang ≥ rata-rata, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI potensial dan diberi bobot 1. Sebaliknya jika jumlah hasil tangkapan ikan Cakalang < rata-rata, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI tidak potensial dan diberi bobot 0.
2. Suhu permukaan laut
Jika kisaran suhu dimana tangkapan banyak, maka dapat dikategorikan sebagai DPI potensial dan diberi bobot 1. Sebaliknya kisaran suhu dimana jumlah hasil tangkapan sedikit, maka dapat dikategorikan sebagai DPI tidak potensial diberi bobot 0.
3. Klorofil-a
Klorofil-a digunakan sebagai indikator penilaian daerah penangkapan ikan. Kategori daerah penangkapan ikan dibagi menjadi dua berdasarkan kandungan klorofi-a nya. Jika suatu perairan dengan kandungan klorofil-a lebih besar dari 0,2 mg/m3, maka daerah penangkapan tersebut dikategorikan potensial. Jika suatu perairan dengan kandungan klorofil-a lebih kecil atau sama dengan 0,2 mg/m3, maka daerah penangkapan tersebut dikategorikan tidak potensial (Tabel 1) (Widodo 1999).
Baca Juga : Mulut dan Sungut Ikan
Comments
Post a Comment